Kamis, 01 Desember 2011

Film sebagai Medium Kreativitas Remaja

Film sebagai Medium Kreativitas Remaja

Kamis, 26 November 2009 03:35 WIB
JAKARTA--Kreativitas dan hobi bisa menjadi jalan yang menghantarkan beberapa remaja berani mengungkapkan pemikirannya. Seperti diketahui, beragam medium kreatif kini banyak bermunculan. Salah satunya lewat festival pemutaran film hasil garapan para remaja.

Namun, tak jarang orang tua cenderung berpikir negatif dengan hasil kreasi yang dibuat anak-anaknya. Menurut Psikolog, Febiola Harlimsyah, berdasarkan teori dari Jean Piaget, pada usia remaja (11-14 tahun) perkembangan pikir memasuki tahap Operasional Formal. Remaja mulai berpikir sistematis dan mencakup  logika yang kompleks. Kemampuan itu dapat terlihat melalui film yang mereka buat

"Karena mereka diberikan kebebasan untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan, banyak hal-hal yang secara jujur terungkap berdasarkan cara pandang remaja. Ada yang memandang hal tersebut sebagai bagian dari dinamika dunia remaja, tetapi ada juga yang cenderung memberikan ‘label’ negatif tanpa mencoba melihat pesan-pesan moral yang ada di dalamnya," tuturnya dalam wawancara via surat elektronik dengan Republika Online, Rabu (25/11)

Febiola menambahkan, film merupakan ungkapan dari apa yang remaja melihat, mendengar dan merasa. Adegan kekerasan dapat merupakan hasil dari pengalaman yang secara langsung atau tidak langsung terjadi dalam kehidupan mereka. Pada masa remaja, kebutuhan untuk menyalurkan emosi dan gagasan juga besar. Tekanan atau kemarahan yang mereka rasakan dapat dituangkan dengan bebas melalui film bertema kekerasan.

Dia menilai, menyangkut masalah ide yang bertalian dengan seksual, kekerasan, dan isu berat lain bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Hal-hal itu merupakan reaksi wajar yang menggugah ketertarikan remaja. Berbeda kasus, kata dia, apabila remaja atau individu yang kurang matang dalam menelaah informasi maupun mengendalikan emosi, tentu patut diperhatikan. Sebab dikhwatirkan terjadi kesalahan menginterpretasikan ide.

Dia berpendapat,  ada baiknya interpretasi masalah pengungkapan atau penyaluran isi pikiran dan emosi yang dilakukan oleh remaja dibedakan. Film adalah sarana yang membebaskan mereka untuk mengeluarkan ide dan perasaan. Namun tidak berarti kekerasan yang ditampilkan di film juga diterapkan dalam kehidupan nyata.

"Sejauh, hal negatif di dalam film tidak terbawa dalam kehidupan sehari-hari, tidak menganggu fungsi sosial, dan tidak memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan, maka dapat difasilitasi sebagai sarana pengungkapan isi hati dan cerminan wawasan mereka," ujarnya.

Dampak Negatif

Masing-masing remaja tentu memiliki reaksi yang berbeda. Ada yang menjadikan film tersebut sebagai pengaruh yang buruk bagi dirinya, semisalnya mencoba adegan kekerasan tersebut ke dalam kehidupan nyata, tetapi ada juga yang mendapat hal positif dari film tersebut.

"Remaja yang memiliki pendirian yang teguh untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan agama yang telah diberikan sejak mereka berusia dini diharapkan dapat mengambil hikmah dari film tersebut dan tidak terpengaruh hal-hal yang bersifat negatif," tegasnya.

Sementara itu, terkait masalah penyalahgunaan pengetahuan membuat film untuk hal yang negatif, Febiola menilai hal itu mungkin saja terjadi. Sebab itu, disinilah letak posisi orang tua. Dia menjelaskan, orangtua sebagai sosok yang lebih dewasa, profesional dan pendidik diharapakan bisa memberikan pengalaman yang positif, pijakan moral yang mantap serta dasar agama yang kuat, sehingga hasil karya remaja dapat dibanggakan dan membuahkan dampak positif bagi lingkungannya.

"Peran orangtua sangat besar, hubungan yang dekat antara orangtua dan remaja disertai dengan pola komunikasi yang sehat, memungkinkan anak untuk terbuka mengenai project pembuatan film tersebut dan memudahkan orangtua untuk memantau proses pembuatan film yang dilakukan oleh remaja mereka," ujarnya.

Peran tersebut tidak berposisi mematikan ide dan kreasi melainkan mengarahkan. Febiola mencontohkan, peran orang tua bisa dimulai sejak memilih tema dan memonitor pelaksanaan proses pembuatan sampai selesai. "Meskipun tidak berperan dominan, orangtua dapat mendampingi remaja agar dapat mengutamakan unsur edukasi dalam film yang mereka buat," tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar